Makna
taat pada aturan kompetisi dalam kebaikan dan kerja keras
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Qur’an, dan Dia tidak membuat sesuatu yang tidak lurus di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang pedih dari Allah dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman,
yang mengerjakan amal
soleh, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik. Mereka (akan menikmati kehidupan
sorga) kekal di dalamnya untuk selamanya”(al-Kahfi:1-3) “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Qur’an, dan Dia tidak membuat sesuatu yang tidak lurus di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang pedih dari Allah dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman,
Al-Qur’an adalah pedoman bagi
manusia yang ingin memilih jalan kebenaran daripada jalan kesesatan (al-Baqarah
:185), pembimbing (guidance) untuk membina ketakwaan (al-Baqarah:
2). Namun, hidup yang taqwa bukan semata harapan atau angan-angan untuk
meraih kebahagiaan, tetapi merupakan medan dan cara kerja yang sebaik-baiknya
untuk merealisasikan kehidupan yang berjaya di dunia dan memperoleh balasan
yang lebih baik lagi di akhirat (an-Nahl: 97).
Bekerja adalah kodrat hidup, baik
kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual
dan sosial dalam berbagai bidang (al-Mulk: 2). Seseorang layak untuk
mendapatkan predikat yang terpuji seperti potensial, aktif, dinamis, produktif
atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar
manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit).
Untuk ini, Al Qur’an diturunkan sebagai “ruhan min amrina”, yakni spirit
hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung
padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat (asy-Syura: 52).
Posisi
Kerja dalam Kitabullah
Al-Qur’an menyebut kerja dengan
berbagai terminologi. Al-Qur’an menyebutnya sebagai “amalun”, terdapat
tidak kurang dari 260 musytaqqat (derivatnya), mencakup pekerjaan
lahiriah dan batiniah. Disebut “fi’lun” dalam sekitar 99 derivatnya,
dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut dengan kata “shun’un”, tidak
kurang dari 17 derivat, dengan penekanan makna pada pekerjaan yang menghasilkan
keluaran (output) yang bersifat fisik. Disebut juga dengan kata “taqdimun”,
dalam 16 derivatnya, yang mempunyai penekanan makna pada investasi untuk
kebahagiaan hari esok.
Pekerjaan yang dicintai Allah SWT
adalah yang berkualitas. Untuk menjelaskannya, Al Qur’an mempergunakan empat
istilah: “Amal Shalih”, tak kurang dari 77 kali; ‘amal yang “Ihsan”,
lebih dari 20 kali; ‘amal yang “Itqan”, disebut 1 kali; dan ”al-Birr”,
disebut 6 kali. Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah, kadang dengan
bahasa anjuran. Pada sisi lain, dijelaskan juga pekerjaan yang buruk dengan
akibatnya yang buruk pula dalam beberapa istilah yang bervariasi. Sebagai
contoh, disebutnya sebagai perbuatan syaitan (al-Maidah: 90,
al-Qashash:15), perbuatan yang sia-sia (Ali Imran: 22,
al-Furqaan: 23), pekerjaan yang bercampur dengan keburukan (at-Taubah:102),
pekerjaan kamuflase yang nampak baik, tetapi isinya buruk (an-Naml:4,
Fusshilat: 25).
Al-Qur’an sebagai pedoman kerja
kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih, memandang kerja sebagai
kodrat hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah (adz-Dzariat:
56). Maka, kerja dengan sendirinya adalah ibadah, dan ibadah
hanya dapat direalisasikan dengan kerja dalam segala manifestasinya (al-Hajj:
77-78, al-Baqarah:177).
Jika kerja adalah ibadah dan status
hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja pada
dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu
‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan
langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana
individulah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masing-masing. Untuk
pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya
bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga
lebih menjamin terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi
individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib
memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan
tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam
ukuran kepentingan umum.
Syarat pokok agar setiap
aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu sebagai berikut.
Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk berbuat
hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan
proyeksi atau tujuan akhir meraih mardhatillah (al-Baqarah:207 dan
265).
Kedua, shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang
diajarkan oleh agama melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah
khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat
(ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan Al-Qur’an (Ali Imran: 31,
al-Hasyr:10).
Ketika kita memilih pekerjaan, maka
haruslah didasarkan pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal
shalih) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik, tanpa
mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus
atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan
Allah. Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara
fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif secara sosial dan kultural
bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan skala prioritas dimulai
dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian yang mempunyai
manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap.
Kualitas
Etik Kerja
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa
dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah,
dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf
hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan
tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi
setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya
adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’ Adapun agar
nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami
harus diperhatikan.
Berikut ini adalah kualitas etik
kerja yang terpenting untuk dihayati.
1. Ash-Shalah (Baik dan
Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau
menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap
pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara
individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh
derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am:
132)
Ini adalah pesan iman yang membawa
manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an menggandengkan iman
dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan
yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual.
Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang semata-mata merupakan rahmat bagi
manusia. Jika tidak diketahui adanya pesan khusus dari agama, maka seseorang
harus memperhatikan pengakuan umum bahwa sesuatu itu bermanfaat, dan
berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika hal ini pun tidak dilakukan,
minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang didukung secara nurani yang
sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat meminta petunjuk (istikharah).
Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak perlu bingung atau ragu dalam memilih
suatu pekerjaan.
2. Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan
atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian
menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah
dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar
ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill
yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah
atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah
dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya
besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan
tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian
lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas,
daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).
3. Al-Ihsan (Melakukan yang
Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua
makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan.
Dengan makna pertama ini, maka
pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar
setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik
dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau
kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang
terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan
sumber daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini
menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw.
Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas
jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih
baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34, dan
an Naml: 125)
Semangat kerja yang ihsan ini
akan dimiliki manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan
kesadaran bahwa dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT.
4. Al-Mujahadah (Kerja Keras
dan Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an
meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya,
yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari
hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah:
35,
al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69).
Mujahadah dalam maknanya yang luas
seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”,
yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan
setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta
optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan
fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’,
yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33).
Tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya
secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Bermujahadah atau bekerja dengan
semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam
rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada
keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).
5. Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi
dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya
menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita
dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau
perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah
kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108). Begitu pula perintah “wasari’u
ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju
ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui kekuatan infaq,
pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat
kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus”
untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan
surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula
dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan
Allah adalah insan yang paling taqwa (al Hujurat: 13). Semua ini
menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.
Oleh karena dasar semangat dalam
kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih,
maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan.
Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek
kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal
dan ketaqwaan dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang
lebih banyak membantu dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan
karenanya, ia mengungguli score kebajikan yang diraih saudaranya.
6. Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia
banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang
menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan
dengan cara mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan
amanat yang tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung
mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa
ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan
menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah
(ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan
dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau
melaksanakannya atau tidak.
Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul
waqti fil Islam”: waktu adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali
engkau sia-siakan, sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah.
Setiap orang akan mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah
rangkaian dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian,
seperti gemar menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan.
Namun, kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak
punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.
Jika kita melihat mengenai kaitan
waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar
bin Khatthab kepada Gubernur Abu
Musa al-Asy’ari ra,
sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya
kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau
tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk,
sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua
terbengkalai.” (Kitab al-Amwal, 10)
Jihad
Sebagai Etos
Ruhul jihad dalam bekerja
mempersyaratkan mobilisasi dan optimalisasi pemberdayaan segenap potensi di
jalan Allah untuk kebaikan setiap orang. Ruhul mujahadah menuntut kesabaran dan
kontinyuitas kerja, bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang mampu
mengungguli kesabaran para pesaing. Semua itu didukung dengan ketekunan
untuk murabathah, yakni pantang meninggalkan pekerjaan sebelum selesai (Ali
Imran: 200). Ruhul jihad menolak setiap bentuk ketidakcermatan dalam
memanajemen waktu yang begitu berharga; ketidak rofesionalan dalam mengelola
sumber daya yang demikian mahal. Dengan tegas pula, ia menolak setiap perasaan
dan sikap lemah, malas dan kurang serius, mengandalkan pada kemampuan orang
lain untuk menyelesaikan pekerjaan, lebih-lebih mencatut prestasi orang lain
sebagai hasil karyanya. Sebab, cara ini analog dengan memakan harta orang lain secara
batil (al Baqarah: 188 )
Secara teoritis, Kaum Muslimin
mempunyai etos kerja yang demikian kuat dan mendasar, karena ia bermuara pada
iman, berhubungan langsung dengan kekuatan Allah, dan merupakan persoalanm
hidup dan mati. Akan tetapi, tidak diingkari kalau kenyataannya masih ‘jauh
panggang dari pada api’. Sebaliknya, Kaum Muslimin belum tahu kalau mereka
itu mempunyai kekuatan etos kerja yang sangat dahsyat, dan ketika mereka
melihat prestasi suatu bangsa atau umat lain, sebagian orang Islam salut dan
terpana dengan etos kerja mereka, dan kadang sambil bertanya dengan agak sinis:
Adakah etos kerja dalam Islam?
Maka, di sinilah Kaum Muslimin harus
kembali kepada Islam secara benar dan mengambil semangat atau ‘apinya’. Karena,
sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Islam adalah pangkal segala urusan hidup,
tiang pancangnya shalat, dan ujung tombaknya adalah jihad.” (H.R.Thabrani)
Dengan ruhul jihad, setiap muslim
akan mampu mengukir prestasi dengan penuh kegairahan, kemudian secara pasti
akan mengembalikan ‘izzah atau harga dirinya, sehingga disegani oleh
umat lain. Sebab, kemuliaan dan gensi itu adalah milik Allah, rasul-Nya, serta
orang-orang beriman (al-Munafiqun: 8 ). Tanpa semangat jihad, mereka
takkan lebih dari sekedar umat ritual yang nampak soleh, tetapi tanpa gengsi,
bahkan boleh jadi inferior terhadap umat atau bangsa lain.
Semangat inilah yang hendak dirusak
dan dilumpuhkan oleh pemikiran dan budaya asing, demi lestarinya pengaruh
mereka terhadap negeri-negeri muslim. Kaum Muslimin dijadikan target invasi
pemikiran dan budaya (al-gazwul fikri). Mereka dicuri waktunya dengan
berbagai sarana dan acara hiburan yang menyuguhkan budaya santai, lembek, dan
pornografis. Maka, bersemailah di bumi Kaum Muslimin hiburan-hiburan yang
berselera rendah, sikap basa-basi, asal bapak senang (ABS) serta budaya minta
petunjuk, memudarnya kejantanan kaum pria yang bergaya wanita, dan akhirnya
membentuk sikap al wahn, yakni cinta dunia dan takut mati.
Profil seorang muslim adalah insan
yang ramah, tetapi bukan lemah; serius, tetapi familiar dan tidak kaku;
perhitungan, tetapi bukan pelit; penyantun, tetapi mengajak bertanggung jawab;
disipilin, tetapi pengertian, mendidik, dan mengayomi; kreatif dan enerjik,
tetapi hanya untuk kebaikan; selalu memikirkan prestasi, tetapi bukan untuk
dirinya sendiri. Kesenangannya adalah meminta maaf dan memberi bantuan dan
kepandaiannya adalah dalam rangka mengakui karunia Allah dan menghargai
jasa atau prestasi orang lain.
Shalawat serta salam semoga tercurah
kepada junjungan alam, Nabi Muhammad saw., keluarga, sahabat, serta para
mujahidin di segala bidang sepanjang zaman. Berkat prestasi kerja mereka
itulah, peta kejayaan ummat dapat diukurkan. Semoga kita mampu bergabung dalam
barisan mereka. Aamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar